SEJARAH
PENATAAN MEJA
Untuk membahas lebih lanjut tentang sejarah perkembangan
peralatan meja makan ini tidaklah memungkinkan untuk dibahas dalam bab ini.
Untuk ini maka selanjutnya hanya akan dibahas bagian bagian yang penting dalam
perkembangan peradaban dan kebudayaan penataan meja makan.
1.
Seabad sebelum
Masehi : Suku Batavir
Sekitar tahun 70 sebelum Masehi, seperti yang diungkapkan
oleh J.W.F. Werumeus dalam bukunya Buning's Culinaire, dijaman Romawi Kuno
telah dinikmati hidangan dalam pesta pesta akbar keagamaan yang menghidangkan
aneka macam makanan. Nanum disamping itu masih ada suku bangsa Romawi yang lain
yang menghidangkan roti tawar kasar, bubur tepung dengan sayuran, keju dan
daging kambing serta daging babi. Hidangan hidangan ini walaupun sudah berumur
lebih dari 20 abad akan tetapi hingga saat ini masih disajikan dan disenangi
oleh masyarakat umum.
Dari arsip para pendeta diketahui bahwa Lentulus, seorang
pendeta, telah menyajikan kepada tamunya hidangan hidangan yang mendapatkan
sambutan yang sangat baik.
Sebagai umpan tekak (hidangan pembuka) adalah tikus laut,
kerang laut dengan asparagus, ayam, dan hidangan dari ikan laut.
Hidangan ini dapat disamakan dengan hors d'oeuvre
vari鳦#060;/i> yang dikenal dalam penyusunan
menu masa kini, tentunya dengan segala kekurangannya apabila dibandingkan
dengan yang kita kenal sekarang dalam ilmu tata hidangan. Terdapat tiga macam
hidangan pada saat itu.
a.
Sebagai hidangan
pertama : hidangan dari daging iga rusa dan babi hutan, paté ayam dan
bekicot.
b.
Sebagai hidangan utama
: tete babi, kepala babi hutan besar yang diasap, aneka hidangan ikan, bebek
panggang, kelinci panggang, dan aneka hidangan unggas.
c.
Sebagai hidangan
penutup : aneka bubur, aneka buah dan berbagai macam kue kecil.
Sudah barang tentu ada pemisah sosial yang sangat besar
antara mereka yang kaya dan yang menganggap dirinya mempunyai peradaban yang
tinggi dan gaya hidup Romawi mewah dengan mereka yang miskin, yang menelusuri
tepian sungai Rijn yang diberi nama Bathouwen. Mereka yang tinggal didaerah ini
telah dapat menikmati berbagai macam makanan karena suburnya daerah ini dan
pergantian hidangan bukanlah sesuatu yang sulit. Mereka yang tinggal didaerah
ini dapat memilih berbagai macam daging hasil buruan (F: gibier, E: wild);
seperti kijang, rusa, kelinci sedangkan daging kodok dimasa itu dianggap
sebagai hidangan yang sangat lezat. Sendok dan garpu masih merupakan peralatan
yang sangat langka, namun gigi yang kuat merupakan penggantinya. Kaum wanita
Bataviria senang mengumpulkan barang barang pecah belah dan menyimpan banyak
busana yang dianggapnya sebagai suatu yang akan mengangkat harga dirinya,
seperti yang diungkapkan oleh Tacitus seorang penulis Romawi Kuno: "Mereka
tampak cantik dan manis, tidak lentur oleh kesibukan mempersiapkan
hidangan". Penampilannya sangat khas, dengan rambut yang terurai
dibelakang punggungnya atau kadang-kadang diikatnya dengan perhiasan rambut
yang terbuat dari kuningan dan diatas kepalanya terdapat dua buah tanduk, serta
giwang yang memperindah penampilannya. Mereka biasanya memasak diluar rumahnya
apabila cuaca baik, dan bila hujan deras maka mereka akan memasak didalam
rumah. Rumah mereka yang berbentuk gubuk yang mempunyai lubang pada atapnya
yang tetap tercermin pada bangunan-bangunan rumah rakyat di Eropa Barat hingga
abad ke IX. Lubang diatap ini ditemui juga pada rumah rumah suku Franken, Sakse
dan Fris. Dari masa ini sudah dikenal tata cara yang harus di-patuhi oleh para
tamu yang diundang. Sering terjadi bahwa para tamu membawa senjata senjata
mereka apabila diundang untuk bersantap. Tidaklah mengherankan apabila setelah
meneguk bersantap dan meneguk minuman dalam keadaan mabuk mereka bertempur satu
dengan yang lainnya. Dijaman Yunani Kuno sudah ada ketentuan yang tidak
tertulis tentang siapa yang akan duduk dikepala meja yang umumnya dilakukan
dengan cara mengundi. Dari masa ini sudah dipraktikan oleh suku bangsa Fries,
Saksen dan Anglo apabila diselengggarakan suatu pesta atau perjamuan akan
ditunjuk orang yang harus bertanggung jawab atas kelancaran jalannya pesta
tersebut dan terbaginya hidangan diantara para tamu dengan suatu cara yang
telah ditetapkan disamping ini mereka juga harus mengawasi sikap dari para
tamu. Orang Fries menyebutnya dengan "zedeward" yang berarti
penanggung jawab akhlak. Ungkapan ini akhirnya berubah dalam percakapan
sehari-hari dengan "Siward". Ketika orang orang Fries, Anglo dan
Saksen menuju ke Britania untuk membantu orang Britania melawan Skotlandia,
kemudian menetap disana dan memberi nama daerah "baru"nya dengan
Angeland; yang kemudian menjadi England, demikian pula istilah
"Siward" berubah menjadi "Steward". Seorang stewardess yang
sedang melayani para penumpang antara London dan Jakarta diudara atau steward
dihotel yang mempersiapkan barang barang keperluan Tata Hidangan dan Tata Boga
mungkin tidak menyadari bahwa tugas yang dijalankannya dimasa modern ini sudah
ada sejak ratusan tahun yang lalu.
2.
Abad Pertengahan
( 476-1492 M.)
Dipandang dari sudut sejarah maka abad pertengahan ini
merupakan penghubung antara masa kuno dengan masa baru. Peradaban abad
pertengahan ini sangat dipengaruhi oleh kehidupan dalam biara.
Penanaman pokok buah anggur diselamatkan oleh para
biarawan. Salah satu ayat dalam Kitab Injil mengatakan: "Pergilah dan
bersantaplah dengan nikmat, minumlah anggurmu, karena Tuhan memberkatinya dalam
karyamu".
Tata Boga di biara-biara abad pertengahan dan juga dirumah
rumah rakyat biasa sudah terbiasa dengan menghidangkan aneka macam makanan;
apalagi di-istana istana raja dan para pangeran serta orang orang kaya dimasa
ini, meja makan terisi penuh dengan hidangan seperti pada jaman Romawi. Diabad
pertengahan ini pula maka seni memasak menemukan bentuknya dan mendapatkan
perlindungan dari St.Fortunatus dan Karel Yang Agung.
Fortunatus yang dilahirkan tahu 530 di Tr趩se, sangat
terpandang di Istana Meroving yang mana kemudian juga mempunyai pengaruh di
Beieren, Rijnland, Negara-Negara Bagian Donau dan Norwegia, mematangkan masanya
di Poitiers, karena disana St. Radegonde, yang pernah menjadi Raja Perancis,
yang menguasai tata boga biara, bersama dengan St. Agnes. Mereka telah
menobatkannya sebagai pujangga boga sebelum dia menjadi Uskup Poitiers dan
meninggal tahun 609 dengan penuh keharuman. Semasa hidupnya tidak jarang ia
menulis diatas pastry dan kuwe:
"Ditengah-tengah segala kelezatan makanan dan aneka
santapan daging yang nyaman, aku kadang-kadang menggerutu, aku makan, kemudian
aku menggerutu lagi; kadang-kadang aku membuka mulut dan kadang-kadang aku
menutup mata, akan tetapi aku akan kembali menikmati apa yang aku suka.
Apabila ada orang yang tidak dapat menghargai atau memuja
St. Fortunatus ini dan Epitres à “aint Radegonde, maka ia pasti akan
memuja Karel Agung yang senantiasa sangat memperatikan penataan meja dan mutu
hidangan yang akan disajikan. Dari catatan sejarah terbukti bahwa ia
mengabdikan hidupnya untuk mengembangkan dan membudidayakan berbagai macam
tanaman yang akan dipergunakan untuk suatu penyajian. Dia juga yang
membudidayakan kol dan keju Roquefort.
Dalam abad pertengahan ini pula hidangan hidangan disajikan
seperti pada jamann Romawi Kuno, tentunya dengan gaya dan seni boga yang lazim
untuk masa itu. Para bangsawan Bourgondia seperti Philips Yang Baik, Karel Yang
Nakal kembali menikmati hidangan hidangan seperti Angsa yang dimasak dengan air
mawar dan daun kemangi, ikan paus yang diasinkan, Tanduk Rusa-muda goreng dan
Burung merak yang disajikan berikut dengan bulu-bulunya yang beraneka warna.
Walaupun biara dan istana para bangsawan itu terbuat dari
batu bata atau tembok, dengan penataan ruangan yang indah, dijaman Karel Besar,
namun kehidupan para pengawal kerajaan dan rakyat biasa hidup dirumah rumah
yang reyot bahkan dapat dikatakan berbentuk gubuk yang kumuh. Dimasa ini orang
masih belum mengenal penggunaan garpu. Untuk piring dipergunakan piring yang
terbuat dari adonan tepung atau piring dimana hidangan akan diletakkan da akan
dipotong dengan pisau yang dibawa sendiri oleh para tamunya. Para tamu akan
makan dengan mempergunakan tangan, jari-jari yang kotor akan disekakan pada
taplak meja sedangkan sisa sisa tulang dan makanan mereka lemparkan kelantai
untuk di"nikmati" oleh anjing anjing yang berkeliaran diruang makan
tersebut. Pada salah satu lukisan peninggalan masa ini (lihat ilustrasi) dapat
dilihat bahwa seorang "pramusaji" tengah membawa setumpuk peralatan
hidang yang terbungkus dengan kain. Ada dua kegunaan dari pada kain ini; yang
pertama adalah untuk melindungi tangan dari panasnya peralatan, karena pada
masa itu peralatan hidangan kebanyaka terbuat dari bahan logam. Yang kedua
adalah untuk mempermudah "pengangkutan" hidangan itu sendiri, agar
tidak goyang. Di Indonesia cara seperti ini sudah dikenal sejak jaman kerajaan
kerajaan tua, yaitu "tenong", yang mana bentuknya jauh lebih artistik
dan berseni karena terbuat dari daun lontar atau bambu yang di-anyam. Pada abad
ke XV ini kerajaan Bourgundy sangat berpengaruh dan dari sinilah mulai
berawalnya etika di meja makan dan struktur organisasi yang kita kenal sekarang
direstoran.
Setiap orang dalam penyelenggaraan suatu andrawwina
mempunyai tugas dan kewajiban yang telah ditentukan, bahkan dinyatakan dengan
suatu Undang-Undang. Seorang Kepala Juru Boga (E: Chief Cook; F: Chef de
Cuisine) akan duduk ditempat yang agak tinggi didapurnya dan memberikan
perintah apa yang harus dilakukan oleh para juru boga. Dia hanya akan
meninggalkan dapurnya apabila ada hidangan khusus yang akan disajikan kepada
para tamu. Dia sendiri akan membawa hidangan yang telah dipersiapkannya dengan
seksama untuk diperlihatkan kepada "tuannya" dan para tamu. Disamping
Kepala Juru Boga ini juga akan tampil dalam andrawina ini para Juru Bakar (E:
The Grill Master; F: Le Hauteurs); Juru Sup (E: Soup Master; F: Le Potagiers)
dan sudah barang tentu Kepala Pramusaji (E: The Head Waiter; F: Le Mâ©´res
d'H䥬) disamping itu masih ada beberapa orang yang lain yang mempunyai tugas
khusus untuk membagi roti dan anggur, yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
dari para "pramusaji". Hal ini disebabkan karena ada pengaruh agama
yang masuk dalam tata cara penghidangan dimasa itu, mereka ada Juru Penuang (E:
Wine Butler; F: Le Sommelier).
Walaupun adanya pengaruh agama dan adanya dalam tata cara
pelayanan maupun penghidangan pada masa itu, namun kebiasaan makan dari jaman
dulu belumlah seluruhnya dapat di-tinggalkan oleh para tamu.
Garpu masih jarang dipergunakan dan umumnya hanya akan
dipergunakan untuk memindahkan daging yang telah terpotong keatas piring.
Piring dari tembikar juga belum begitu dikenal dan dipergunakan; yang
dipergunakan adalah piring dari emas atau timah untuk pesta pesta yang besar.
Sedangkan umumnya dipergunakan sebilah papan berbentuk bulak atau persegi yang
berfungsi sebagai piring. Suatu hal yang juga menonjol dari masa ini adalah
taplak meja yang dipergunakan menggantung pada pinggirian meja sampai menutupi
lutut para tamu yang duduk, dan pada taplak meja inilah semua tamu akan menyeka
tangannya. Awal dari dipergunakannya "serbet"!
Hidangan yang umum disajikan pada masa itu adalah hidangan
panggang hasil buruan (E: The Main course of Game; F: Relevé ¤e Gibier),
hidangan ikan (E: Main Course of Fish; F: Relevé ¤e Poisson), hidangan
sayuran (E: Vegetable Dish; F: Relevé ¤e Legumes), roti (E: Bread; F: Le
Pain) dan terutama pastel (E: Paste; F: Pat馣060;/i>). Patel pastel ini
mendapatkan perhatian khusus dari para juru boga. Tidak jarang ditemui ukuran
pastel yang normal untuk masa itu yang harus ditarik oleh 12 (dua belas) ekor
kuda untuk diarak keliling kota sebelum disajikan dimeja makan. Bagaimana rasa
dari pastel ini tidak pernah diungkapkan dalam sejarah boga. Disamping pastel
raksasa ini juga dibuat pastel dalam bentuk yang lebih kecil akan tetapi dengan
seni bangun yang tinggi, seperti sebuah benteng atau puri. Tidaklah banyak
berbeda dengan bentuk kue pengantin dimasa sekarang yang banyak mempunyai
ornamen ornamen yang sulit. Berkeliarannya anjing anjing disekeliling meja pada
masa itu merupakan suatu hal yang bergengsi. Para undangan dan tamu gemar
sekali menikmati minuman, sehingga tidaklah mengherankan apabila setelah suatu
andrawina berlangsung mereka tersungkur dibawah meja dalam keadaan mabuk.
3.
Abad Keemasan
Apabila memasuki ruangan andrawina diabad keemasan ini
(Abad XVII) maka pandangan pertama akan tertuju pada meja yang terletak
ditengah ruangan. Sebenarnya bukanlah sebuah meja akan tetapi sebuah papan
lepasan yang dilukis, ditunjang oleh beberapa kaki yang mana diatasnya tertata
senjata senjata, lambang dan panji-panji serta tidak jarang akan ditemui gambar
gambar cuplikan dari Kitab Suci. Ada sesuatu yang janggal, bahwa papan ini
tidak pernah dipergunakan sebagai daun meja dan hanya dipakai sebagai meja
pajangan. Apabila akan diselenggarakan andrawina maka daun meja ini akan diganti
dengan papan biasa yang akan dipergunakan sebagai meja makan. Dimusim panas,
apabila tungku api pemanas sudah tidak dipergunakan lagi, maka daun meja yang
terlukis ini dipajang diruang tengah sebagai hiasan. Bentuk daun meja ini tidak
selalu harus bulat atau persegi, sering juga terdapat daun meja berbentuk tapal
kuda atau siku. Taplak meja yang ditebarkan diatasnya terdiri dari dua jenis
yaitu yang taplak dasar dan taplak meja yang nantinya akan berfungsi juga
sebagai serbet tangan maupun serbet mulut (E: The Servette; F: Le Serviettes),
Istilah ini sudah dipergnakan dalam abad ke XIII dan tetap dipergunakan hingga
abad ke XVIII. Taplak meja dasar biasanya tergantung sampai dilantai sedangkan
taplak meja yang kedua tergantung sampai dilutut disebut juga; doublet akan
menjadi penutup sendok, pisau dan teljor sampai tibanya para tamu. Teljor yang
juga disebut tailjor, telloren, teljoer atau taljoer adalah piring ikan
sedangkan piring makan dan piring penghidang dimasa itu dinamakannya Platel dan
tempat saus disebut sauci벦#060;/i> yang biasanya dibuat dari emas, perak
atau timah dan hanya kadang kadang dari tembikar.
Pisau dengan genggam dari perak atau emas dan kadang kadang
dari tembikar halus harus ditata dengan ujung tajamnya menghadap ke tamu.
Sendok, dimasa itu umumnya terbuat dari kayu atau timah dan kadang-kadang dari
perak dipergunakan khusus untuk sup atau menyedok saus.
Untuk setiap, atau kadang kadang setiap dua tamu disediakan
sebauah cawan yang disebut Gelte yang akan dipergunakan untuk membasuh tangan
sebelum mereka akan bersantap. Sudah mulai dipergunakan serbet makan yang
disebutnya servietten. Serbet ini dipergunakannya untuk menyeka tangannya
setelah mebasuh tangan. Pada kesempatan andrawina yang lebih sederhana maka
becke diletakkan diatas dressoir yaitu lemari tempat menyimpan barang barang
keperluan sehari-hari. Setelah para tamu membasuh tangannya mereka akan
mengambil tempat pada bangku yang telah tersedia. Bangku bangku ini kemudian
digantikan dengan kursi makan yang dikenal sekarang ini. Juru boga akan
membagikan roti kemudian dia akan menempatkan tempat garam diujung meja dimana
seorang Joncker snidene duduk. Orang ini bertugas untuk memotong dan mebagikan
hidangan daging, ayam dan daging hasil buruan yang dipanggang. Petugas yang ditugaskan
untuk ini harus benar benar seorang yang ahli dalam hal memotong dan membagi
hidangan. Tugas ini hanya diberikan kepada turunan kaum bangsawan yang sudah
mahir dan terbiasa dengan cara cara memotong dan membagikan daging.
Hidangan diabad ke XVIII ini terdiri dari dua bagian; yaitu
hidangan awal dan hidangan akhir. Hidangan pertama yang disajikan diatas meja
umumnya adalah semacam salad. Salad ini kadang kadang disajikan dalam bentuk
yang menyerupai sup yang kental dan disebut pottagie. Dari beberapa tulisan
peninggalan sejarah diketahui bahwa salad pada masa itu terdiri dari berbagai
macam rempah rempah yang diramu dengan bunga-bunga, jeruk, wortel, ketimun atau
buah buahan, apabila hidangan kedua terdiri dari ikan maka salad yang akan
disajikan terdiri dari ercis dan telur rebus.
Sesuai dengan hukum tata cara makan dimasa itu, maka
pottagies harus mendahului hidangan hidangan dari ayam dan daging. Apabila
hidangan kedua terbuat dari ikan, maka salad dengan telur dan ercis harus
disajikan sebelumnya. Kepala Pramusaji dimasa itu bertugas untuk menata semua
hidangan yang disajikan diatas meja dan menghiasinya dengan daun-daun dan
bungan bunga, untuk dapat memberikan kesan yang menarik. Hidangan hidangan yang
umum disajikan diabad ke XVIII ini terdiri dari kaki babi, domba, tidak jarang
pula disajikan anak babi panggang atau babi hutan. Mereka yang kurang mampu
cukup harus puas dengan menyediakan semacam sosis atau pastel yang di-isi
dengan hati angsa.
Hidangan hidangan dari unggas liar yang biasanya disajikan
setelah hidangan dari ikan disajikan dalam bentuk yang sangat indah dan tidak
kalah dengan hidangan dari hasil buruan yang disajikan dengan saus yang manis.
Burung Merak sering dipergunakan sebagai hidangan utama karena bulu-bulunya
yang memperindah bentuk hidangan yang akan disajikan, disamping rasa dangingnya
yang nikmat. Apabila hidangan hidangan ini tidak dapat diperolehnya dalam
bentuk yang segar, maka akan dipergunakan daging burung yang sudah diawetkan.
Hidangan ikan yang disajikan dimasa itu sudahlah banyak
yang tinggal kenangan, karena beberapa jenis ikan sudah punah seperti flote,
geerfish, meyfish dan masih banyak yang lainnya.
Beraneka rasa saus sudah disajikan pada masa itu, khususnya
yang mendampingi hidangan hidangan dari ikan. Tidaklah mengherankan apabila
didaerah Bourgogne dimasa itu sudah ada ahli saus yang disebut sauchons, yang
mempunyai tugas khusus untuk menciptakan saus yang harus mendapingi setiap
hidangan yang akan disajikan kepada para bangsawan.
Setelah hidangan awal disajikan dan becke serta dwael sudah
diedarkan kembali diantara para tamu untuk membasuh tangan dan menyeka mulut,
maka bagian kedua dari penyajian akan dihidangkan yaitu hidangan akhir. Minuman
yang disajikan berganti pula.
Hidangan akhir ini terdiri dari berbagai macam gorengan
unggas kecil, daging domba dsb. Hidangan penutup dimasa itu terdiri dari adonan
yang terbuat dari telur, tepung, kayu manis, susu, mentega, gula dan kadang
kadang dicampur dengan buah buahan seperti apel. Marsipan juga merupakan
hidangan penutup dimasa itu. Sejak masa itu sudah dikenal roti marsipan, yang
kini hanya disajikan pada masa Natal dan Paskah. Menurut berapa nara sumber
asal kata marzipan ini adalah dari Roti Santo Markus (Saint Marci pain) yang
disajikan pada tanggal 25 April di kota Erfurth (Thn) untuk memperingati
masa kelaparan yang terjadi ditahun 1438, yaitu roti yang diisi dengan kacang
amandel. Ada pula yang mengatakan berasal dari bahasa Italy; marzapani yang
berarti roti amandel yang ditekan dan tertutup.
Dan setelah semua hidangan ini disajikan maka sebagai
hidangan yang akan menutup seluruh rangkaian penyajian hidangan yang
"nikmat" ini disajikan blanc manger; yaitu sejenis poding dan
dilanjutkan dengan penyajian berbagai buah buahan serta keju. Apabila hidangan
utama terdiri dari ikan maka penyajian hidangan penutup akan dilanjutkan dengan
penyajian dari aneka kacang-kacangan dan minuman terakhir.
4.
Kebiasan
Penghidangan di Abad XVIII.
Seni Penghidangan dan Ketatasajian diabad ke XVIII ini
sangat dipengaruhi oleh Tata Boga Klasik Perancis. Para juru boga dimasa ini
berjuang untuk dapat menampilkan yang terbaik dan melawan semua adat kebiasaan
abad pertengahan yang ada diboga masa itu. Sedangkan rakyat Perancis sendiri
mulai bangkit dan melawan kebiasaan dan hukum yang bersumber dari abad
pertengahan yang sangat menyengsarakan rakyat Perancis. Rakyat biasa di-masa
ini, masih mempergunakan tangan untuk menikmati makanannya. Garpu hanya
dipergunakan oleh mereka yang lebih "berbudaya" di-masa itu. Dalam
"Hollandsche Spectator" tertanggal 20 Maret 1733 memuat catatan dari
seorang bangsawan yang menegur anaknya yang pernah belajar di Perancis:
"Dimanakah sebenarnya kau belajar menikmati makanan dengan mempergunakan
garpu dan kelihatannya kau begitu mahir mempergunakannya. "Baiklah kau
tetap dengan tata cara kebangsawananmu yang baru ini, akan tetapi saya sudah
terlalu tua untuk mengubah adat kebiasaan dan saya tidak pernah mendapatkan
tata cara makan seperti ini". Pada akhir abad ke XVIII barulah garpu
mendapatkan "pengakuan" tempatnya dimeja makan. Pengembangan penataan
meja di Perancis sangatlah dipengaruhi oleh Antoine Carê¥ (1784-1883) dan Jean
Anthelme Brillat Savarin (1755-1826). Kedua-duanya adalah ahli boga dijamannya
yang mana hingga kini, seluruh ketata-bogaan dunia bertitik tolak dari hasil
karya mereka ini.
Sebelumnya semua hidangan diletakkan di-atas meja, yang
mana menyebabkan dinginnya hidangan yang disajikan. Namun setelah Antoine Carê¥,
penghidangan di-ubah. Hidangan disajikan berdasarkan urutan penyajiannya , namun
piranti hidang yang dipergunakan saat itu belumlah selengkap seperti sekarang
ini.
Jaman berganti dan kebiasaan penataan mejapun mengikuti
derap perkembangan jaman, namun dasar penataan meja makan yang serasi bertitik
tolak dari awal pertengahan abad ke XIX dengan Biedermeier Romatieknya, dengan
keanggunan dari jaman abad ke XVIII disamping garis kelurusan dan ketegakkan
penataan meja itu sendiri berawal dari jaman kerajaan sebelumnya. Surut bersama
waktu, "kekacauan" dalam penataan meja dan penghidangan akhirnya
setelah seabad berlalu, mempeoleh bentuknya seperti yag kita kenal sekarang.
Orang tidak akan makan lagi dari satu tempat seperti dijaman abad ke-emasan
ataupun minum dari satu cawan besar. Pada awal abad ini mulailah dikenal
Saksisch porcelain , lena yang dipergunakan adalah damast yang sangat terkenal
dari Belgia, gelas kristal dari Copier di Perancis serta peralatan hidang yang
menawan dari Inggris yang semuanya ini menjadi penghias dan memperindah suasana
dimeja makan masa kini.
Sebenarnya perlengkapan dan peralatan yang diperlukan untuk
menata meja yang apik dan serasi ini dapat dikombinasikan dengan peralatan dan
piranti yang diciptakan oleh para pandai emas dan perak di Indonesia ini.
Sayangnya bahwa hanys sedikit sekali hotel dan restoran di Indonesia ini
mempergunakan perlatan dan piranti di meja makan ini dari kerajinan Perak
Jogjakarta, Kendari ataupun kerajinan emas dari Makassar (Ujung Pandang)
Itu ya lumayan jelas sejarah penataan makan dan napkin
ReplyDeleteKalo lebih banyak ya harus dirangkum jangan ditulis semua
ReplyDeleteKalo GK banyak nanti GK tau semua
ReplyDelete